30 Juni 2020
Apa perbedaan yang paling terlihat dari orang kaya, orang menengah, dan orang miskin?
23 Juni 2020
Quarter Life Crisis dan Anxiety
- Karena kamu gak tahu mau jadi apa, kecuali kamu sudah punya cita-cita sejak kecil. Di sini baru kerasa, cita-cita itu penting.
- Karena ada sebagian orang yang kamu kenal, melangkahi pencapaianmu. Walaupun memang kata Hindia, "Hidup bukan saling mendahului, Bermimpilah sendiri-sendiri.". Perasaan tertinggal, membuat anxiety betah di kepalamu.
- Karena belum siap menerima status "dewasa", kesenjangan antara tuntutan sosial dan kesiapan diri untuk menjadi dewasa membuat tekanan lebih besar.
- Idealisme terbentur realita, bayangan tentang hidup yang selama kalian dambakan ketika sekolah, ternyata tidak seindah kenyataannya. Hidup ini memang dan akan terus keras, Kekasih. Terbiasalah, jangan heran banyak orang-orang yang menurutmu tidak pantas sukses, ternyata hidup lebih baik dari dirimu. Atau mungkin berapa banyak orang yang mengubur cita-citanya dan malah terjebak di dalam Rat Race? (Iya, saya juga masuk hitungan.)
Itu di atas teorinya, saya pribadi tidak banyak yang dikhawatirkan saat 21 tahun, karena merasa aman dan cukup, sampai akhirnya saya menikah. Perasaan takut akan masa depan muncul entah dari mana, mungkin ini yang dibilang anxiety. Saya takut tidak bisa menafkahi keluarga, saya takut anak saya tidak bisa sekolah dengan layak, saya takut kehabisan uang, saya takut kehilangan pekerjaan.
Semua orang sepertinya akan dan pernah mengalami ini, buktinya, sampai ada istilah dan studi tentang Quarter Life Crisis, apalagi di era sekarang, sepertinya melewati fase ini tidak semudah dengan orang-orang di era dulu. Ketika dulu bekerja itu hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup, milenial memandang pekerjaan lebih dari itu, mereka berpandangan bahwa bekerja itu harus fun, sesuai passion, dan tetap membuatnya fit into society, atau bahkan agar feed instagram mereka lebih cantik dan inspiratif. Mereka, milenials cenderung ingin lebih sekedar kebutuhan hidup, tapi juga dengan kebutuhan aktualisasinya.
Pada akhirnya, semua kekhawatiran ini hanya terjadi di pikiranmu sendiri, kamu hanya mengarang skenario "What if" dari yang terbaik sampai yang terburuk. "What if" yang baik bisa mengarah pada ekspektasi dan optimisme yang berlebihan, sedangkan "What if" yang buruk membuatmu dihinggapi rasa khawatir dan anxiety berlebihan. Jadi, harus bagaimana? "Don't expect too much, but also don't ever lose your hope." Masih bingung juga? Semuanya memang paradoks, termasuk hidup, kita dilahirkan hanya untuk mati pada akhirnya, karena semuanya bukan tentang awal atau akhir, tapi proses.
Bagaimana Menyikapi Perasaan Diremehkan di Tempat Kerja?
Google Images
Setelah melamar ke ratusan lowongan di berbagai platform, mulai dari korban EO Job Fair berbayar hingga desperately melamar ratusan lamaran via internet. Akhirnya, saya mendapat kesempatan interview (dan akhirnya diterima) di salah satu perusahaan FMCG besar di Indonesia sebagai "Warehouse Supervisor". Bayangan pertama saya, "wah.. keren nih, baru masuk udah jadi Supervisor". Saya membayangkan bekerja di sebuah gudang distribusi besar, bergelut dengan data inventory di depan komputer.
Google Images
Tanpa mengurangi hormat saya dengan orang-orang yang bekerja di bidang ini, saya (saat itu) merasa berhak mendapatkan lebih, I deserve more than this. Kuliah tiga setengah tahun mendalami ASEAN seakan sia-sia, penelitian sampai ke Bangkok serasa tidak berguna. I was underappreciated. Setelah berkontemplasi di kamar mandi kosan yang terpisah dengan kamarnya, saya putuskan untuk resign. Tak lama setelah itu, saya mencari warnet dan membuat surat pengunduran diri. Esoknya saya datang pagi-pagi lalu segera mencari kepala gudang dan memberikan suratnya, saya beralasan, saya harus kembali ke kampung halaman karena urusan mendesak.
Google Images
08 Juni 2020
Mengapa kita harus hidup untuk saat ini?
Karena seperti yang Oogway katakan,
“Yesterday is history. Tomorrow is a mystery, but today is a gift! That is why it is called the present.”
Dengan dengan berpikir tentang hari ini, detik ini, momen ini, semua akan terasa ringan, katanya sebagian besar masalah kita, kita ciptakan sendiri dengan menyesali masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan.
Memang, banyak kebodohan-kebodohan dan kesalahan-kesalahan yang kita perbuat di masa lalu, yang kita harap bisa kita ubah. Tapi, alih-alih mengubahnya, kita malah terjebak dalam pikiran kita sendiri.
Saya juga punya banyak hal yang saya sesali, misalnya, dulu, stand-up comedy belum sepopuler sekarang, tapi saya sudah jatuh cinta dengan jenis komedi itu ketika belum banyak orang tahu, tapi bukannya ikut komunitas dan open-mic, saya hanya mentok nonton di Youtube. Alhasil, saya berakhir hanya sebagai penikmat. Memang, jika saya dulu mengejarnya pun, belum tentu saya bisa lebih sukses, tapi setidaknya saya tahu sejauh mana kemampuan saya.
Dulu, ketika Youtube tidak sebesar sekarang dan menjadi Youtuber tidak pernah masuk dalam pilihan karir, saya tertarik menunggah beberapa video, tapi lagi-lagi sama, bukannya diteruskan, malah berhenti begitu saja. Memang, saya pun belum tentu sukses jika dulu mengambil jalan itu, tapi minimal, saya tidak akan penasaran.
Saya enggan keluar dari zona nyaman, malah asyik berkutat di dalamnya dan tidak begitu berusaha untuk menggali dan memaksimalkan potensi diri.
Lalu, saya harus murung? Harus terus memendam penyesalan? Hidup harus terus berjalan, saya boleh sedikit menyia-nyiakan masa muda saya, tapi kubur penyesalan itu dan terus melaju.
Apa yang saya khawatirkan tentang masa depan saya? Buanyaaakk banget, jika disebut satu per satu, tidak akan pernah selesai. Yang paling saya takuti adalah tidak bisa keluar dari Rat Race, harus bekerja sepanjang hidup saya, lalu akhirnya mati begitu saja. Saya tidak mau itu, saya ingin lebih. Daripada mengkhawatirkannya secara berlebihan, lebih baik mengubahnya menjadi tujuan yang dapat diwujudkan dengan langkah-langkah konkrit.
Sudah cukup menyesal saya dulu tidak melakukan apa-apa, terjebak zona nyaman, saatnya bertindak dan mencegah kerugian lebih besar. Selain mencoba bekerja lebih keras, saya mulai baca artikel-artikel tentang keuangan, investasi, dan sebagainya. Agar kelak tidak membuat anak saya menjadi sandwich generation.
Berkaitan dengan hidup untuk saat ini, belum lama ini saya menerjemahkan jawaban tentang trik melawan rasa malas. Ia bercerita tentang latihan yang harus ayahnya tempuh sebagai SEALS, tentara elit Amerika, ia menyebutnya Hell Week.
Ayahnya harus melakukan banyak latihan selama satu Minggu, mulai dari dibangunkan oleh suara tembakan senjata mesin, sampai mengangkat balok kayu dan berendam di air yang sangat dingin. Bukan latihan fisiknya yang berat, tapi efek yang ditimbulkan dari latihan fisik di hari dimana ia harus mengerjakan hal-hal non-fisik, yaitu hari Selasa.
Setelah latihan fisik yang berat dari Minggu dini hari hingga Senin malam, Ayahnya masih harus mengerjakan tugas lain di hari Selasa, dengan badan serasa remuk, kaki yang kaku seperti papan kayu dan beban mental yang berat. Banyak yang menyerah di hari Selasa. Tapi ayahnya berhasil dengan cara mengerjakan tugasnya satu per satu. Fokus pada satu tugas dalam satu waktu, tidak memikirkan satu jam ke depan, besok, atau hari libur.
Trik ini juga yang saya terapkan ketika di pabrik, dengan banyaknya laporan yang harus saya kerjakan dan belum lagi tugas-tugas dadakan dari atasan, saya mengerjakannya satu per satu. Satu tugas dalam satu waktu, yang penting mulai dikerjakan, bukan cuma dipikirin doang.
Dalam hidup pun begitu, walaupun tidak mudah, fokus dengan apa yang kamu kerjakan sekarang, nikmati setiap momennya, sambil memastikan kamu di jalan yang benar menuju tujuan hidupmu.
Kalimat terakhir ini akan terkesan preachy, masa lalu jadikan pelajaran, masa depan jadikan motivasi, jalani hidup perlahan, karena hidup bukan hanya tentang siapa mendahului siapa, semua orang punya jalan, kecepatan, dan tujuannya masing-masing. Berhentilah membandingkan.