18 September 2020

Saya Pernah Menjadi Orang Yang Religius

Saya lahir di keluarga yang awalnya tidak terlalu religius, saya masih ingat, ketika SD, hanya ibu saya yang "terlihat" religius. Ayah saya tidak terlihat religius, indikasinya adalah Sholatnya lebih sering tidak tepat waktu. Saya pun kala itu, tidak "diteror" untuk Sholat.

Sampai akhirnya, tidak tahu ada angin apa dan kejadian apa, Ayah saya mulai "terlihat" religus, Sholat tepat waktu, mulai sering bergaul dengan pengurus mesjid dan secara legal (ditandai dengan kartu anggota) masuk salah satu organisasi islam. Kenapa saya bilang secara legal? Karena, memang Ayah saya mengikuti mazhab Organisasi Islam ini, jadi setiap peribadahannya merujuk kesitu, tapi tidak memiliki kartu anggota.

Mulai saat itu, saya mulai dididik lebih keras dalam hal agama. Ayah saya yang sebelumnya seperti acuh, mulai "mengingatkan" untuk melaksanakan sholat awal waktu. Belum lagi, layaknya orang tua kebanyakan yang mengharapkan anak soleh, orang tua saya memanggil guru ngaji untuk mengajari saya membaca Al-Qur'an.

SMP dan SMA, lambat laun gaya ibadah saya, mulai seperti Ayah saya. Sholat awal waktu, Sholat Jum'at shaf depan dan datang lebih awal, Bulan puasa mengikuti kuliah subuh, Sholat tarawih tamat. Ibadah wajib semua saya kerjakan, dengan diselingi ibadah sunnah yang tidak terlalu berat, seperti Sholat Sunnah sebelemu/sesudah Sholat Wajib.

Saya sempat merasa "manusia paling benar", hanya islam yang diterima Allah, agama lain straight to hell. Belum lagi, karena membaca teori konspirasi yang serampangan bertebaran di internet, makin benci saya dengan orang-orang non-muslim, jangankan non-muslim, sesama muslim yang masih mengerjakan ibadah (yang menurut mazhab kami) bid'ah, saya sering mencibir.

Masuk dunia kuliah, mengenal lebih banyak teman dan pergaulan lebih luas, saya bertemu beberapa orang non-muslim dan kenal dekat. Mereka sangat baik, jauh lebih baik dari saya, sampai terbesit, "Sekejam inikah Tuhan? Kenapa hanya muslim saja yang masuk surga? Lalu apa guna dan fungsi orang-orang non-muslim? Hanya dilahirkan ke dunia lalu setelah mati, dikirim langsung ke neraka? Hanya karena mereka bukan muslim? Walaupun mereka berbuat baik?"

Selain lingkungan sekolah, peran perubahan sikap Ayah saya pun menentukan. Semakin ia religius, tidak membuat ia semakin bijaksana. Saya tak perlu membeberkan apa saja, bagaimana pun ia adalah Ayah kandung saya yang sangat saya hormati dan saya cintai. Banyak sikap dan keputusan Ayah saya yang membuat saya berpikir berulang-ulang. Tingkat religius itu tidak menggambarkan kebijaksanaan. Orang religius pun belum tentu berkeperimanusiaan.

Kalaulah memang religius itu penentu peradaban, semakin religius, semakin beradab, hari ini Super Power itu bukan Amerika, tapi (mungkin) Indonesia dan atau negara-negara berbasis agama (dan mayoritas beragama) lain.

Kalaulah memang religius itu penentu peradaban, negara-negara mayoritas muslim akan jauh lebih beradab, karena mereka beribadah wajib sehari lima kali, lalu ada ibadah wajib seminggu satu kali, ada ibadah wajib, satu bulan penuh dalam satu tahun. Umatnya akan semakin baik seiring berjalannya waktu.

Sementara di belahan bumi lain, ada negara-negara yang tidak berdasar agama, bahkan tidak beragama sama sekali, tapi jauh lebih beradab.