23 Juni 2020

Quarter Life Crisis dan Anxiety


Kenapa terkadang menginjak Usia 20an menjadi lebih insecure?

  1. Karena kamu gak tahu mau jadi apa, kecuali kamu sudah punya cita-cita sejak kecil. Di sini baru kerasa, cita-cita itu penting.
  2. Karena ada sebagian orang yang kamu kenal, melangkahi pencapaianmu. Walaupun memang kata Hindia, "Hidup bukan saling mendahului, Bermimpilah sendiri-sendiri.". Perasaan tertinggal, membuat anxiety betah di kepalamu.
  3. Karena belum siap menerima status "dewasa", kesenjangan antara tuntutan sosial dan kesiapan diri untuk menjadi dewasa membuat tekanan lebih besar.
  4. Idealisme terbentur realita, bayangan tentang hidup yang selama kalian dambakan ketika sekolah, ternyata tidak seindah kenyataannya. Hidup ini memang dan akan terus keras, Kekasih. Terbiasalah, jangan heran banyak orang-orang yang menurutmu tidak pantas sukses, ternyata hidup lebih baik dari dirimu. Atau mungkin berapa banyak orang yang mengubur cita-citanya dan malah terjebak di dalam Rat Race? (Iya, saya juga masuk hitungan.)

Itu di atas teorinya, saya pribadi tidak banyak yang dikhawatirkan saat 21 tahun, karena merasa aman dan cukup, sampai akhirnya saya menikah. Perasaan takut akan masa depan muncul entah dari mana, mungkin ini yang dibilang anxiety. Saya takut tidak bisa menafkahi keluarga, saya takut anak saya tidak bisa sekolah dengan layak, saya takut kehabisan uang, saya takut kehilangan pekerjaan.

Semua orang sepertinya akan dan pernah mengalami ini, buktinya, sampai ada istilah dan studi tentang Quarter Life Crisis, apalagi di era sekarang, sepertinya melewati fase ini tidak semudah dengan orang-orang di era dulu. Ketika dulu bekerja itu hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup, milenial memandang pekerjaan lebih dari itu, mereka berpandangan bahwa bekerja itu harus fun, sesuai passion, dan tetap membuatnya fit into society, atau bahkan agar feed instagram mereka lebih cantik dan inspiratif. Mereka, milenials cenderung ingin lebih sekedar kebutuhan hidup, tapi juga dengan kebutuhan aktualisasinya.

Pada akhirnya, semua kekhawatiran ini hanya terjadi di pikiranmu sendiri, kamu hanya mengarang skenario "What if" dari yang terbaik sampai yang terburuk. "What if" yang baik bisa mengarah pada ekspektasi dan optimisme yang berlebihan, sedangkan "What if" yang buruk membuatmu dihinggapi rasa khawatir dan anxiety berlebihan. Jadi, harus bagaimana? "Don't expect too much, but also don't ever lose your hope." Masih bingung juga? Semuanya memang paradoks, termasuk hidup, kita dilahirkan hanya untuk mati pada akhirnya, karena semuanya bukan tentang awal atau akhir, tapi proses.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar