18 September 2020

Saya Pernah Menjadi Orang Yang Religius

Saya lahir di keluarga yang awalnya tidak terlalu religius, saya masih ingat, ketika SD, hanya ibu saya yang "terlihat" religius. Ayah saya tidak terlihat religius, indikasinya adalah Sholatnya lebih sering tidak tepat waktu. Saya pun kala itu, tidak "diteror" untuk Sholat.

Sampai akhirnya, tidak tahu ada angin apa dan kejadian apa, Ayah saya mulai "terlihat" religus, Sholat tepat waktu, mulai sering bergaul dengan pengurus mesjid dan secara legal (ditandai dengan kartu anggota) masuk salah satu organisasi islam. Kenapa saya bilang secara legal? Karena, memang Ayah saya mengikuti mazhab Organisasi Islam ini, jadi setiap peribadahannya merujuk kesitu, tapi tidak memiliki kartu anggota.

Mulai saat itu, saya mulai dididik lebih keras dalam hal agama. Ayah saya yang sebelumnya seperti acuh, mulai "mengingatkan" untuk melaksanakan sholat awal waktu. Belum lagi, layaknya orang tua kebanyakan yang mengharapkan anak soleh, orang tua saya memanggil guru ngaji untuk mengajari saya membaca Al-Qur'an.

SMP dan SMA, lambat laun gaya ibadah saya, mulai seperti Ayah saya. Sholat awal waktu, Sholat Jum'at shaf depan dan datang lebih awal, Bulan puasa mengikuti kuliah subuh, Sholat tarawih tamat. Ibadah wajib semua saya kerjakan, dengan diselingi ibadah sunnah yang tidak terlalu berat, seperti Sholat Sunnah sebelemu/sesudah Sholat Wajib.

Saya sempat merasa "manusia paling benar", hanya islam yang diterima Allah, agama lain straight to hell. Belum lagi, karena membaca teori konspirasi yang serampangan bertebaran di internet, makin benci saya dengan orang-orang non-muslim, jangankan non-muslim, sesama muslim yang masih mengerjakan ibadah (yang menurut mazhab kami) bid'ah, saya sering mencibir.

Masuk dunia kuliah, mengenal lebih banyak teman dan pergaulan lebih luas, saya bertemu beberapa orang non-muslim dan kenal dekat. Mereka sangat baik, jauh lebih baik dari saya, sampai terbesit, "Sekejam inikah Tuhan? Kenapa hanya muslim saja yang masuk surga? Lalu apa guna dan fungsi orang-orang non-muslim? Hanya dilahirkan ke dunia lalu setelah mati, dikirim langsung ke neraka? Hanya karena mereka bukan muslim? Walaupun mereka berbuat baik?"

Selain lingkungan sekolah, peran perubahan sikap Ayah saya pun menentukan. Semakin ia religius, tidak membuat ia semakin bijaksana. Saya tak perlu membeberkan apa saja, bagaimana pun ia adalah Ayah kandung saya yang sangat saya hormati dan saya cintai. Banyak sikap dan keputusan Ayah saya yang membuat saya berpikir berulang-ulang. Tingkat religius itu tidak menggambarkan kebijaksanaan. Orang religius pun belum tentu berkeperimanusiaan.

Kalaulah memang religius itu penentu peradaban, semakin religius, semakin beradab, hari ini Super Power itu bukan Amerika, tapi (mungkin) Indonesia dan atau negara-negara berbasis agama (dan mayoritas beragama) lain.

Kalaulah memang religius itu penentu peradaban, negara-negara mayoritas muslim akan jauh lebih beradab, karena mereka beribadah wajib sehari lima kali, lalu ada ibadah wajib seminggu satu kali, ada ibadah wajib, satu bulan penuh dalam satu tahun. Umatnya akan semakin baik seiring berjalannya waktu.

Sementara di belahan bumi lain, ada negara-negara yang tidak berdasar agama, bahkan tidak beragama sama sekali, tapi jauh lebih beradab.

07 Juli 2020

Tidak semua nasihat harus ditaati


"Udah terima aja, mungkin bukan jalannya."
Pernah denger "nasihat" kayak gitu? Ketika kamu sedang memperjuangkan sesuatu dengan daya dan upaya yang kamu miliki, namun, pada akhirnya "Flop". Semua buyar dalam sekejap. Pas kamu ceritain ke orang lain, sebagian dari mereka mungkin berkata seperti ini dengan maksud membesarkan hatimu agar tidak berlarut dalam kesedihan.
Dulu, saya "terlalu menelan mentah-mentah" nasihat seperti ini. Alih-alih berusaha lebih keras ketika gagal, atau mencari alternatif lain, saya malah "pasrah". Sikap pasrah, menurut saya, tidak bisa berlaku terhadap semua hal.
Semua keinginanmu berharga dan layak untuk dicapai. Dulu, saya senang sekali bermain drum, walaupun tidak memilikinya, saya kadang sengaja menyewa studio bersama teman-teman sekolah hanya untuk sekedar memainkan beberapa lagu. Pada suatu titik, saya tidak bisa keep up dengan teman-teman saya, tempo saya seriing menghancurkan permainan musik yang kami mainkan. Beberapa kali saya coba, hasilnya tidak maksimal. Saya berniat untuk belajar drum secara formal, lalu mengutarakan keinginan saya kepada orang tua, tapi apa yang dikatakan orang tua saya? "Udah terima aja, mungkin bukan jalannya. Belajar aja yang bener".
Nasihat ini tidak membawa saya kemana-mana, saya hanya menjadi average-salary-man. Setiap kegagalan yang saya alami dalam rangka mengejar keinginan saya, orang tua saya selalu datang dengan nasihat yang sama. Memang, mungkin niat mereka baik, agar saya tidak berlarut dalam kesedihan, tapi mereka juga lupa untuk mendorong saya agar bisa mencapai apa yang saya inginkan.
Saya tidak bermaksud menyalahkan orang tua saya sepenuhnya, karena saya yang sekarang adalah hasil keputusan-keputusan yang saya lalui, tapi saya yang sekarang juga tidak terlepas dari pola asuh orang tua saya.
Sekarang, saya sudah mempunyai anak, saya tidak akan membesarkan hati anak saya jika ia gagal, dengan nasihat ini. Saya akan meng-encourage dia agar terus mengejar apa yang ia inginkan sampai di titik, memang bukan jalannya.

02 Juli 2020

Apa hal kecil yang membuatmu senang?


Hari ini, istri saya mengirimkan foto ini, ini adalah sarapan paginya. Sejak kemarin sore ia
ngidam
(walaupun tidak sedang hamil) sarapan dengan nasi hangat ditambah sambel pecel dari tukang pecel langganan kami. Kemarin sore, ia membeli pecel ayam untuk makan malam sekaligus membeli khusus sambelnya untuk dimakan pagi ini.
Lihat betapa senangnya dia, lalu ini.
teurab =
bersendawa
Kalau ini, kejadian kemarin. Ketika saya menanyakan jam berapa anak saya pagi ini bangun dan bagaimana makannya. Untuk sebagian orang tua akan terdengar sepele, tapi untuk orang tua yang anaknya sulit sekali makan, mendengar anak makan lahap itu membuat bahagia.
Walaupun saya bekerja tidak jauh dari rumah, dan setiap hari bertemu, saya selalu menyempatkan waktu untuk menanyakan keadaan rumah, sekedar bertanya, "Sempat sarapan atau tidak?" bertanya "sempat" karena istri saya mengurus rumah semuanya sendiri, tanpa bantuan ART atau orang tuanya. Anak saya juga masih kecil, belum bisa lepas sepenuhnya.
Lalu, apa hubungannya dengan pertanyan di atas? Hal kecil yang membuat saya senang adalah
mendengar kabar baik dari orang-orang yang saya cintai.
Jangan sampai, kamu terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan atau sedang mengejar mimpi indahmu, sampai-sampai kamu lupa menanyakan kabar orang-orang yang kamu sayangi. Kabar ini mungkin akan kamu anggap hal biasa, sampai ketika kabar yang kamu terima adalah, kabar buruk dari mereka.

30 Juni 2020

Apa perbedaan yang paling terlihat dari orang kaya, orang menengah, dan orang miskin?

1. Orang miskin, hidup dengan bekerja untuk uang.
Mereka seakan tidak pernah puas akan keadaannya, mereka terus bekerja tanpa henti untuk mendapatkan uang sekaligus pengakuan. Definisi orang miskin disini bukan sebatas orang yang mempunyai penghasilan di bawah rata-rata orang Indonesia, melainkan termasuk juga orang-orang yang penghasilannya jauh di atas standar hidup Indonesia tapi masih harus bekerja ekstra keras untuk menghasilkan uang. Siang-malam ia bekerja, untuk tetap hidup dalam kemewahan. Memang ada yang seperti itu? Coba buka Youtube dehh.. :)
Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada orang-orang yang memang senang sekali bekerja keras, yang ingin saya sampaikan adalah, jangan terlalu ambisius atau bahkan serakah, cobalah berhenti sejenak, sudah sejauh apa kamu melangkah, dan setelah itu, lewati setiap momen dengan penuh kesadaran dan juga jangan lupa sisihkan untuk keperluan hari tua. Saya menemui beberapa jawaban di Quora yang pada akhirnya menyesal karena terlalu sibuk "mengejar uang" dan "mempertahankan posisi" dalam kemewahan sampai lupa hal-hal yang tidak bisa digantikan dengan uang, waktu untuk orang yang kita sayangi, misalnya. Memang, ini pilihan masing-masing. Semoga mereka melakukannya dengan hati yang selalu bahagia.
2. Orang menengah, uang hasil bekerja untuk gaya hidup.
Sudah jadi rahasia umum yaa.. Inilah kenapa akun-akun financial planner mulai digandrungi. Jouska berhasil memanfaatkan keadaan ini. Mereka seringkali memuat postingan yang sangat bersinggungan dengan masalah kaum menengah urban di Indonesia. "Gaji gue naek, ko gak bisa nabung ya?" atau "Gaji gue sampe dua digit, tapi kok berasa ga cukup terus yah pas akhir bulan?"
Keluar dari middle-income trap tidak mudah. Saya sendiri butuh usaha ekstra untuk membiasakan diri menyisihkan uang agar bisa ditabung atau diinvestasikan. Saat awal bekerja, sebagian besar gaji, saya habiskan untuk membeli sneakers baru, atau sekedar makan enak di restoran. Alhasil, gaji selalu habis tak tersisa, yang tersisa hanya penyesalan.
Setelah menikah, saya mulai sadar banyak hal yang harus dipersiapkan, iniliah yang memicu saya untuk menahan "kenikmatan sesaat" agar mendapatkan "kenikmatan yang lebih besar" suatu saat nanti. Ketika gajian, biasanya saya langsung membayar kewajiban bulanan, seperti listrik atau cicilan KPR, lalu setelahnya saya sisihkan untuk investasi sedikit demi sedikit.
Menabung di awal dan sekaligus itu tidak mudah, makanya, saya menggunakan metode "nabung mingguan" dengan target nominal per tahun. Saya dapatkan cara ini dari (at)gatherich di Instagram. Misal, target saya menabung adalah sepuluh juta, target ini akan disebar ke dalam setiap minggu yang ada dalam satu tahun. Saya akan contreng setiap nominal yang sudah saya sisihkan. Semoga dengan ini, saya tidak lagi terperangkap dan stuck dalam "perangkap kaum menengah".
3. Orang kaya, uang yang bekerja untuk hidup mereka.
Contoh konkret dari orang kaya di Indonesia adalah Lo Kheng Hong, seorang investor saham yang dijuluki Warren Buffet-nya Indonesia[1]. Setelah sukses beat the market, sekarang ia habiskan hidupnya untuk membaca dan travelling. Hanya dengan duduk manis, bersantai di rumah, bahkan sambil tidur pun, pundi-pundi uang terus mengalir ke kantongnya. Ia pernah menghasilkan return sebanyak 12.600%, seratus dua puluh enam kali lipat dari satu emiten!
Terlepas dari kekayaan yang ia hasilkan dari pasar saham, ia tetap hidup sederhana. Ia tidak tertarik mengoleksi barang-barang mewah, ia berpendapat, harga barang-barang mewah biasanya mengalami penyusutan. Hidupnya sekarang dihabiskan dengan RTI (Reading, Thinking, Investing), ia juga sesekali berwisata ke berbagai macam tempat, menikmati hidup sepenuhnya. Ia masih aktif sebagai investor retail hingga sekarang, hal yang paling dicintainya.
Namun demikian, tidak perlu memiliki aset triliyunan untuk masuk kategori ini, menurut saya, jika kamu sudah tidak perlu bekerja lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupmu, kamu sudah kaya. Contoh, kamu memiliki aset properti yang hasilnya dapat memenuhi kebutuhanmu per bulan, atau kemarin kamu membeli Obligasi Pemerintah/SBR06 sebanyak tiga milyar dan kupon per bulannya (sekitar 16 juta) dapat memenuhi kebutuhan per bulanmu, kamu sudah dikategorikan orang kaya.
Semoga kita semua dijauhkan dari perilaku Hyperconsumerism/Hedonism dan mulai mengatur keuangan kita secara bijak agar kelak tidak perlu lagi bekerja siang-malam, namun lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang-orang yang kita cintai.

23 Juni 2020

Quarter Life Crisis dan Anxiety


Kenapa terkadang menginjak Usia 20an menjadi lebih insecure?

  1. Karena kamu gak tahu mau jadi apa, kecuali kamu sudah punya cita-cita sejak kecil. Di sini baru kerasa, cita-cita itu penting.
  2. Karena ada sebagian orang yang kamu kenal, melangkahi pencapaianmu. Walaupun memang kata Hindia, "Hidup bukan saling mendahului, Bermimpilah sendiri-sendiri.". Perasaan tertinggal, membuat anxiety betah di kepalamu.
  3. Karena belum siap menerima status "dewasa", kesenjangan antara tuntutan sosial dan kesiapan diri untuk menjadi dewasa membuat tekanan lebih besar.
  4. Idealisme terbentur realita, bayangan tentang hidup yang selama kalian dambakan ketika sekolah, ternyata tidak seindah kenyataannya. Hidup ini memang dan akan terus keras, Kekasih. Terbiasalah, jangan heran banyak orang-orang yang menurutmu tidak pantas sukses, ternyata hidup lebih baik dari dirimu. Atau mungkin berapa banyak orang yang mengubur cita-citanya dan malah terjebak di dalam Rat Race? (Iya, saya juga masuk hitungan.)

Itu di atas teorinya, saya pribadi tidak banyak yang dikhawatirkan saat 21 tahun, karena merasa aman dan cukup, sampai akhirnya saya menikah. Perasaan takut akan masa depan muncul entah dari mana, mungkin ini yang dibilang anxiety. Saya takut tidak bisa menafkahi keluarga, saya takut anak saya tidak bisa sekolah dengan layak, saya takut kehabisan uang, saya takut kehilangan pekerjaan.

Semua orang sepertinya akan dan pernah mengalami ini, buktinya, sampai ada istilah dan studi tentang Quarter Life Crisis, apalagi di era sekarang, sepertinya melewati fase ini tidak semudah dengan orang-orang di era dulu. Ketika dulu bekerja itu hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup, milenial memandang pekerjaan lebih dari itu, mereka berpandangan bahwa bekerja itu harus fun, sesuai passion, dan tetap membuatnya fit into society, atau bahkan agar feed instagram mereka lebih cantik dan inspiratif. Mereka, milenials cenderung ingin lebih sekedar kebutuhan hidup, tapi juga dengan kebutuhan aktualisasinya.

Pada akhirnya, semua kekhawatiran ini hanya terjadi di pikiranmu sendiri, kamu hanya mengarang skenario "What if" dari yang terbaik sampai yang terburuk. "What if" yang baik bisa mengarah pada ekspektasi dan optimisme yang berlebihan, sedangkan "What if" yang buruk membuatmu dihinggapi rasa khawatir dan anxiety berlebihan. Jadi, harus bagaimana? "Don't expect too much, but also don't ever lose your hope." Masih bingung juga? Semuanya memang paradoks, termasuk hidup, kita dilahirkan hanya untuk mati pada akhirnya, karena semuanya bukan tentang awal atau akhir, tapi proses.


Bagaimana Menyikapi Perasaan Diremehkan di Tempat Kerja?

Sarjana Ilmu Politik dengan IPK Cum Laude. Dulu, ketika saya masih naif dan tidak tahu banyak tentang dunia kerja, saya banyak berharap dengan titel ini, saya pikir, ini akan mengantarkan saya ke jalur karir yang menakjubkan. Coba tebak apa pekerjaan pertama saya sebelum di pabrik sepatu? Analis kebijakan luar negeri? Pegawai Kemenlu? Kerja di Internasional NGO ? Staf khusus urusan luar negeri? Staf di ASEAN? Haha.. Saya harap, itu pekerjaan pertama saya.


Google Images

Setelah melamar ke ratusan lowongan di berbagai platform, mulai dari korban EO Job Fair berbayar hingga desperately melamar ratusan lamaran via internet. Akhirnya, saya mendapat kesempatan interview (dan akhirnya diterima) di salah satu perusahaan FMCG besar di Indonesia sebagai "Warehouse Supervisor". Bayangan pertama saya, "wah.. keren nih, baru masuk udah jadi Supervisor". Saya membayangkan bekerja di sebuah gudang distribusi besar, bergelut dengan data inventory di depan komputer.


 Google Images

Tanpa mengurangi hormat saya dengan orang-orang yang bekerja di bidang ini, saya (saat itu) merasa berhak mendapatkan lebih, I deserve more than this. Kuliah tiga setengah tahun mendalami ASEAN seakan sia-sia, penelitian sampai ke Bangkok serasa tidak berguna. I was underappreciated. Setelah berkontemplasi di kamar mandi kosan yang terpisah dengan kamarnya, saya putuskan untuk resign. Tak lama setelah itu, saya mencari warnet dan membuat surat pengunduran diri. Esoknya saya datang pagi-pagi lalu segera mencari kepala gudang dan memberikan suratnya, saya beralasan, saya harus kembali ke kampung halaman karena urusan mendesak.


Google Images

Awalnya lega, tapi ternyata proses setelahnya tidak mudah, saya bergegas mencari pekerjaan lagi, memulai prosesnya dari nol, dari Job Fair ke Job Fair dan dari satu platform digital ke platform digital lain. Sampai akhirnya, ada telepon dari nomer telepon Karawang, sebuah panggilan yang awalnya saya tidak anggap terlalu serius, bahkan saya tidak ingat melamar ke perusahaan ini. Sebuah undangan dari perusahaan yang baru saya kenal ketika ditelepon. Lusanya saya dijanjikan untuk bertemu tim HRD, proses rekrutmen berlajan seperti pada umumnya, Psikotest, Tes Kemampuan, Interview HR, Interview User dan tanda tangan kontrak. Karena ini adalah fase yang sama yang saya kerjakan dua kali, saya tidak begitu excited seperti sebelumnya, jika sebelumnya saya hampir selalu berpakaian layaknya seorang pengangguran mencari lowongan (kemeja panjang, (kadang) dasi, celana bahan, pantofel), kali ini saya hanya memakai kemeja biasa dengan celana jins dan sepatu bots yang biasa saya pakai kuliah. Tak banyak yang saya harapkan.
Tapi, begitulah (mungkin) cara semesta bekerja, kadang yang kalian harapkan tidak terjadi, tapi yang kalian remehkan ternyata hinggap di hidup kalian. Saya diterima. Singkat cerita, saya ditempatkan di bagian ekspor, mengurus segala kebutuhan dokumen ekspor, dari mulai Invoice, Packing List, dan Booking Number dari LSP/Forwarder. Di fase ini saya merasa sangat diremehkan, bukan karena Job Desc-nya tapi lebih karena senior yang tidak begitu friendly. Saya sedikit merasa terintimidasi dan dipandang sebelah mata, lalu apa yang saya lakukan? Walaupun dengan perasaan gondok, tapi saya berusaha agar setiap tugas yang diberikan dikerjakan dengan baik, apa yang diperintahkan atasan, dikerjakan tepat waktu dan hasil maksimal.
Lalu bagaimana akhirnya? Setelah bekerja hampir empat tahun disini, posisi saya sekarang adalah Chief di Business Unit bagian Packaging and Labelling, posisi mantan senior saya? Dia stuck sebagai staff dengan Job Desc yang sama.
Kesimpulannya, saya pernah "merasa direndahkan" dan "dianggap remeh" dua kali. Tapi, saya coba meresponnya dengan sebaik mungkin, tidak larut dalam perasaan itu. Saat bekerja sebagai WHS Supervisor pun, saya lakukan setiap tugasnya dengan sungguh-sungguh, pun sama halnya ketika saya masuk pabrik ini. Saya percaya jika semua dikerjakan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh, semua akan terbayar dengan sendirinya, walau kadang dengan hal-hal yang tidak terduga.

08 Juni 2020

Mengapa kita harus hidup untuk saat ini?

Karena seperti yang Oogway katakan,

“Yesterday is history. Tomorrow is a mystery, but today is a gift! That is why it is called the present.”

Dengan dengan berpikir tentang hari ini, detik ini, momen ini, semua akan terasa ringan, katanya sebagian besar masalah kita, kita ciptakan sendiri dengan menyesali masa lalu dan mengkhawatirkan masa depan.

Memang, banyak kebodohan-kebodohan dan kesalahan-kesalahan yang kita perbuat di masa lalu, yang kita harap bisa kita ubah. Tapi, alih-alih mengubahnya, kita malah terjebak dalam pikiran kita sendiri.

Saya juga punya banyak hal yang saya sesali, misalnya, dulu, stand-up comedy belum sepopuler sekarang, tapi saya sudah jatuh cinta dengan jenis komedi itu ketika belum banyak orang tahu, tapi bukannya ikut komunitas dan open-mic, saya hanya mentok nonton di Youtube. Alhasil, saya berakhir hanya sebagai penikmat. Memang, jika saya dulu mengejarnya pun, belum tentu saya bisa lebih sukses, tapi setidaknya saya tahu sejauh mana kemampuan saya.

Dulu, ketika Youtube tidak sebesar sekarang dan menjadi Youtuber tidak pernah masuk dalam pilihan karir, saya tertarik menunggah beberapa video, tapi lagi-lagi sama, bukannya diteruskan, malah berhenti begitu saja. Memang, saya pun belum tentu sukses jika dulu mengambil jalan itu, tapi minimal, saya tidak akan penasaran.

Saya enggan keluar dari zona nyaman, malah asyik berkutat di dalamnya dan tidak begitu berusaha untuk menggali dan memaksimalkan potensi diri.

Lalu, saya harus murung? Harus terus memendam penyesalan? Hidup harus terus berjalan, saya boleh sedikit menyia-nyiakan masa muda saya, tapi kubur penyesalan itu dan terus melaju.

Apa yang saya khawatirkan tentang masa depan saya? Buanyaaakk banget, jika disebut satu per satu, tidak akan pernah selesai. Yang paling saya takuti adalah tidak bisa keluar dari Rat Race, harus bekerja sepanjang hidup saya, lalu akhirnya mati begitu saja. Saya tidak mau itu, saya ingin lebih. Daripada mengkhawatirkannya secara berlebihan, lebih baik mengubahnya menjadi tujuan yang dapat diwujudkan dengan langkah-langkah konkrit.

Sudah cukup menyesal saya dulu tidak melakukan apa-apa, terjebak zona nyaman, saatnya bertindak dan mencegah kerugian lebih besar. Selain mencoba bekerja lebih keras, saya mulai baca artikel-artikel tentang keuangan, investasi, dan sebagainya. Agar kelak tidak membuat anak saya menjadi sandwich generation.

Berkaitan dengan hidup untuk saat ini, belum lama ini saya menerjemahkan jawaban tentang trik melawan rasa malas. Ia bercerita tentang latihan yang harus ayahnya tempuh sebagai SEALS, tentara elit Amerika, ia menyebutnya Hell Week.

Ayahnya harus melakukan banyak latihan selama satu Minggu, mulai dari dibangunkan oleh suara tembakan senjata mesin, sampai mengangkat balok kayu dan berendam di air yang sangat dingin. Bukan latihan fisiknya yang berat, tapi efek yang ditimbulkan dari latihan fisik di hari dimana ia harus mengerjakan hal-hal non-fisik, yaitu hari Selasa.

Setelah latihan fisik yang berat dari Minggu dini hari hingga Senin malam, Ayahnya masih harus mengerjakan tugas lain di hari Selasa, dengan badan serasa remuk, kaki yang kaku seperti papan kayu dan beban mental yang berat. Banyak yang menyerah di hari Selasa. Tapi ayahnya berhasil dengan cara mengerjakan tugasnya satu per satu. Fokus pada satu tugas dalam satu waktu, tidak memikirkan satu jam ke depan, besok, atau hari libur.

Trik ini juga yang saya terapkan ketika di pabrik, dengan banyaknya laporan yang harus saya kerjakan dan belum lagi tugas-tugas dadakan dari atasan, saya mengerjakannya satu per satu. Satu tugas dalam satu waktu, yang penting mulai dikerjakan, bukan cuma dipikirin doang.

Dalam hidup pun begitu, walaupun tidak mudah, fokus dengan apa yang kamu kerjakan sekarang, nikmati setiap momennya, sambil memastikan kamu di jalan yang benar menuju tujuan hidupmu.

Kalimat terakhir ini akan terkesan preachy, masa lalu jadikan pelajaran, masa depan jadikan motivasi, jalani hidup perlahan, karena hidup bukan hanya tentang siapa mendahului siapa, semua orang punya jalan, kecepatan, dan tujuannya masing-masing. Berhentilah membandingkan.